Semua krisis pasti berakhir. Biasanya, krisis yang terjadi malah menimbulkan krisis lainnya karena kemampuan kita untuk kembali pulih hampir sama dengan kemampuan kita untuk merencanakan, ujar Alistair Speirs, yang telah melalui berbagai krisis di Indonesia: mulai dari kerusuhan hingga gempa bumi, hingga resesi finansial dan tsunami.
Seandainya kita mau jujur untuk membandingkan durasi dan program pemulihan krisis di Indonesia dengan Singapura, Malaysia dan Thailand, maka kita akan sadar seberapa lambat kita dibandingkan mereka. Kenapa hal ini bisa terjadi dan apa yang bisa kita lakukan untuk membuat proses pemulihan krisis berlangsung lebih cepat, mudah dan permanen?
Pada tahun 1907, Baden-Powell, seorang tentara Inggris, merancang motto Pramuka: Siaga. Ia mempublikasikannya dalam buku Scouting for Boys pada 1908. (Dua tahun kemudian, pada 1910, institusi Pramuka Amerika berdiri.)
Dalam Scouting for Boys, Baden-Powell menyatakan bahwa Siaga artinya, “Anda selalu dalam situasi siap secara mental dan fisik untuk melakukan tugas Anda.” Setelah mendengar motto Pramuka tersebut, seseorang mengajukan pertanyaan lanjutan yang tak bisa dielakkan, “Siaga untuk apa?”
“Tentu saja, untuk semua hal,” jawabnya.
Lebih dari satu abad kemudian, kesiapsiagaan masih merupakan landasan bagi Pramuka. Melalui program-program yang menyenangkan dan berbasis nilai-nilai, Pramuka mempersiapkan anak-anak muda untuk menghadapi kehidupan.
Pada akhir 1900-an, Baden-Powell ingin para anak muda memiliki bekal yang cukup untuk mampu bereaksi secara cepat dalam sebuah situasi gawat darurat. Perang Dunia I terjadi, dan Pramuka – bukan organisasi militer melainkan organisasi yang memiliki tujuan untuk melayani – akan dipanggil untuk memainkan perannya.
Beliau memiliki pemikiran bahwa Pramuka harus mempersiapkan dirinya untuk menjadi masyarakat yang produktif, menjadi pemimpin yang kuat, dan menghadirkan kebahagiaan untuk orang lain. Beliau ingin setiap anggota Pramuka untuk selalu siap siaga secara mental dan fisik sehingga mampu menghadapi semua tantangan yang dihadapinya dengan hati yang kuat.
Bukankah itu yang kita butuhkan saat ini? Kita harus bersiap. Untuk apa? Tentu saja, “untuk semua hal,” seperti yang disampaikan Baden-Powell dan, ijinkan saya menyampaikannya, untuk semua hal baru.
Gagal bersiap, sebagaimana kita ketahui, sama saja dengan siap gagal. Sebagai mantan pelaku bisnis asuransi, saya paham betul ketidaksiapan masyarakat untuk menghadapi bencana dan situasi gawat darurat. Para pengusaha asuransi cemas dengan pemikiran “itu tidak akan terjadi kepada saya” karena alat pemadam api tidak pernah diperiksa dan prosedur keselamatan dan perawatan regular, bahkan untuk lift pengunjung, dan lebih menyedihkan lagi, pesawat, bus dan kereta sering diabaikan.
Tentu saja, frekuensi terjadinya situasi bahaya dan gawat darurat sangat minimal, yang kemudian meninabobokan kita ke dalam delusi dan keamanan palsu. Kadang-kadang, pengusaha asuransi berharap terjadinya sebuah kebakaran untuk menyadarkan masyarakat (tanpa adanya korban, tentu saja). Di Indonesia, kita benar-benar tidak memiliki alasan untuk merasa puas; kita terus-menerus diserang, baik oleh bencana alami maupun buatan manusia, dan setiap kali, kita harus mulai dari awal lagi untuk mempersiapkan diri kita sendiri.
Ingat dengan bencana gempa bumi yang menghancurkan Yogyakarta di tahun 2006 dan merenggut nyawa lebih dari 5,000 orang? Setahun setelah bencana tersebut, saya diminta untuk mengunjungi industri pariwisata di sana dan mencari tahu bagaimana usaha pemulihan di sana. Dalam sebuah pertemuan dengan lebih dari 50 pimpinan industri, saya meminta mereka untuk menunjukkan Rencana Pengelolaan Krisis mereka. Tidak seorangpun yang memilikinya. Saya marah kepada mereka. Mereka akan mengecewakan para karyawan, tamu dan komunitas mereka lagi. Sekali lagi, mereka tidak siap!
Anda juga pasti ingat dengan tragedi Bom Bali yang menghantam industri pariwisata pada tahun 2002. Pemerintah menjanjikan dana pemulihan khusus untuk membantu Pulau Dewata untuk mampu kembali berdiri sendiri, yang benar-benar dibutuhkan karena hotel, restoran dan toko-toko tidak memiliki pendapatan selama tiga hingga empat bulan dan masyarakat harus hidup dari belas kasihan orang lain. Butuh waktu hingga tujuh bulan untuk mengumpulkan dana tersebut dan menjalankan program pemulihan. Diperlukan waktu hingga enam bulan untuk mempersiapkan program komunikasi publik untuk mencoba meyakinkan masyarakat dunia untuk “kembali ke Bali”. Program pemulihan tersebut berhasil, tapi ribuan pekerjaan dan penderitaan yang berlangsung berbulan-bulan bisa dihindari seandainya program tersebut dijalankan lebih cepat dan lebih baik jika semuanya dipersiapkan sejak awal sebagai antisipasi untuk menghadapi banyak hal yang bisa saja dan pasti akan berjalan salah.
Maju ke tahun 2018 ketika Gunung Agung meletus. Pasar industri pariwisata merespons dengan membatalkan tiket pesawat dan hotel mereka. Hal yang diperlukan saat itu adalah respons yang bersifat segera, masuk akal, dan profesional dari Departemen Hubungan Masyarakat setiap perusahaan untuk meyakinkan masyarakat dan mempertahankan masuknya turis dan pada akhirnya menjaga ketersediaan pekerjaan. Tapi itu tidak terjadi. Tidak ada usaha komunikasi publik – yang telah dibubarkan karena tidak lagi dibutuhkan, begitu juga dengan perawatan dan pengelolaan krisis serta keseluruhan konsep dari perencanaan ke depan, saya kira.
Di Jakarta, banjir kembali terjadi tahun ini, kenapa? Berdasarkan juru bicara resmi pemerintah DKI Jakarta, banjir tersebut disebabkan oleh hujan yang derasnya tidak biasa. Saya juga bisa menyampaikan itu kepada Anda! Tapi saya pasti akan dipecat dari pekerjaan saya di perusahaan asuransi karena tidak mengantisipasi hal tersebut dan menyarankan klien saya untuk melihat skenario terburuk dalam 100 tahun ke depan, perbesar 50% dan bangun infrastruktur yang sanggup menanggulangi hal tersebut. Orang-orang kehilangan rumahnya dan bahkan beberapa kehilangan nyawanya karena tidak adanya kesiapsiagaan. Baden-Powell akan sangat marah melihat hal ini.
Saat ini, kita sedang berusaha menanggulangi baru yang sebenarnya tidak terlalu baru melainkan SARS, MERS dan Flu Burung yang berevolusi. Apa yang kita lakukan saat itu semua terjadi? Apakah Anda ingat? Di mana rencana penanggulangan wabah SARS? Ada di file yang sama dengan program komunikasi publik dan perawatan. Di mana rencana penganggulangan wabah pasca-SARS? Tidak ada? Kita buat lagi saja.
Harusnya tidak seperti itu. Kita harus bersiap untuk mengambil tindakan demi meminimalisir penderitaan manusia dan konsekuensi ekonomi. Kita butuh pemikiran baru, solusi baru, inisiatif baru, segila apapun itu, untuk membantu masyarakat di negara ini agar segera kembali bekerja, dan menghamburkan uang untuk diberikan kepada pemerintah daerah untuk mereka habiskan semau mereka bukanlah jawabannya. (Tanyalah masyarakat di Lombok Timur yang masih menunggu penyelesaian program pemulihan dua tahun setelah bencana terjadi.)
Inilah beberapa ide saya, yang semoga saja tidak seperti ide lainnya, demi mampu menghalau dua masalah sekaligus agar kita memiliki rencana jangka pendek dan jangka Panjang.
(1) Buat tim yang terdiri dari masyarakat pengangguran untuk diberi pelatihan untuk memasang panel tenaga surya di semua rumah di seluruh negeri sebagai energi alternatif untuk menyediakan listrik dan air panas. Hal ini akan membuka lapangan pekerjaan di pabrik-pabrik (panel tenaga surya tersebut harus dibuat di Indonesia) dan untuk mereka yang kehilangan pekerjaan akibat wabah ini. Penggunaan panel tenaga surya akan mengurangi kebutuhan energi berbasis batubara, membantu membersihkan polusi udara dan mengurangi biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk energi. Sekali mendayung, tiga pulau terlampaui! Semua ini harus dibiayai oleh inovasi kredit perbankan yang sesuai dengan penghematan biaya energi.
(2) Ketika ide pertama tersebut sedang berlangsung, kita juga bisa memasang sekat termal di semua bangunan di Indonesia dengan panel termal baru yang dibuat dari sabut kelapa yang tiap hari dibuang dalam jumlah besar. Limbah sabut kelapa tersebut biasanya dibakar dan menyebabkan polusi udara dan bahkan kebakaran hutan. Proses pembuatan panel tersebut akan menjadi sumber pendapatan baru untuk petani, perusahaan pembuat dan pihak pemasang sekaligus menghemat pengeluaran kantor-kantor dan rumah tangga yang dipasang panel tersebut, mengurangi kebutuhan energi, mencegah kebakaran hutan, dan mengurangi polusi udara.
(3) Kebanyakan orang tidak sanggup untuk menggunakan jasa asisten rumah tangga lagi, tapi dengan meningkatnya ketersediaan tenaga kerja di sektor ini, kita bisa menyerap tenaga kerja berkemampuan rendah yang secara otomatis memiliki tempat tinggal dan makanan, dan membiarkan orang-orang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan lebih untuk bekerja di perusahaan teknologi, pariwisata, dan jual-beli. Caranya? Biarkan gaji mereka bisa mendapatkan potongan pajak 100%. Hal ini sama saja dengan dukungan pemerintah terhadap mereka tanpa adanya kerumitan birokrasi dan administrasi. Pekerjakan satu asisten rumah tangga, maka Anda bisa memotong pajak pribadi Anda dengan membayar gaji mereka. Semua orang menang tanpa adanya kerumitan administrasi.
Sebelum menutup, saya ingin mengangkat sebuah hal menarik yang disampaikan oleh seorang teman yang sangat baik dan pintar yang juga memiliki perhatian yang sama besarnya dengan saya terhadap industri pariwisata Bali.
Dia bilang, “Ini adalah saat yang tepat untuk menekan tombol reset untuk Bali. Kita sedang merasakan kondisi Bali yang seharusnya kita rasakan dari dulu: tidak ada kemacetan, tidak ada polusi, tidak ada motor-motor yang parkir sembarangan. Semuanya sempurna, tapi sayangnya tidak ada perputaran uang!”
Saya benar-benar setuju dengannya. Akankah ada waktu yang tepat untuk memperbaiki kondisi Bali yang berantakan akibat over-tourism? Ini adalah waktu yang tepat, bukan untuk mengalami kepanikan tapi untuk membuat sebuah rencana matang, waktu yang tepat untuk berkonsultasi dengan semua pemangku kepentingan dan mempelajari apa yang bisa dilakukan. Ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan hal tersebut karena kita tidak bisa melakukan hal lain.
Mari kita mulai membereskan masalah perparkiran. Kebanyakan masalah perparkiran disebabkan oleh motor para pegawai yang mengendarai motor ke tempat kerjanya dan memarkirkan kendaraannya di luar tempat kerjanya. Kita harus menghentikan kebiasaan ini.
Kawasan Ubud telah mulai mengimplementasikan tempat parkir terpusat dan gagasan tersebut harus diaplikasikan dan ditegakkan di semua tempat. Tanah-tanah kosong harus dimanfaatkan dan layanan parkir-jalan dan parkir-tumpang harus digalakkan. Gagasan ini tidak terlalu rumit. Kita hanya butuh orang-orang muda dan cerdas untuk memimpin. Di mana mereka?
Kedua, kita harus memperhatikan permasalahan limbah. Kita harus mulai mengimplementasikan pusat-pusat daur ulang di seluruh pulau dan menegakkan aturan pemilahan sampah di kawasan perkantoran, perumahan, hotel, bar, toko-toko, club, atau bahkan taman-taman. Contoh penegakkannya adalah dengan tidak melayani pengelolaan sampah yang tidak dipilah dengan baik.
Ketiga, gangguan yang diakibatkan oleh papan iklan dan baliho juga harus ditangani. Papan iklan sangat tidak enak dipandang, menghalangi pemandangan, menggunakan energi listrik yang tidak perlu, dan pada dasarnya bertolak belakang dengan citra pariwisata Bali. Papak iklan harus dihilangkan dan meskipun pihak pemerintah daerah akan kehilangan pendapatan yang luar biasa besar, tapi masih banyak sumber pendapatan lain yang bisa dimanfaatkan. Gagasan ini sangat mungkin diimplementasikan. Rio de Janeiro berhasil melakukannya, begitu pula dengan kota Lima di Peru.
Kita harus melakukan semua itu sekarang dan kembali menunjukkan identitas Bali yang sebenarnya.
Kenapa saya fokus kepada permasalahan di atas? Karena ketika kita kembali ke pasar, kita akan membutuhkan kisah yang luar biasa untuk diceritakan. Contohnya, “Kembalilah ke Bali BARU! Kami memiliki zona pejalan kaki baru. Kemacetan sudah tidak ada lagi. Pantai dan sungai kini bersih dari polusi dan sampah. Semua hal yang ingin Anda ubah, sudah kami ubah. Dan kami patuh terhadap peraturan-peraturan terkait Covid-19”
Saya berharap Anda paham maksud tulisan ini; kita perlu mempersiapkan diri pasca-pandemi Covid-19 dengan pemikiran baru untuk membantu industri, dunia kerja dan lingkungan. Jika kita tidak mulai sekarang, kita terpaksa harus kembali ke tahun 2002 dan menunggu berbulan-bulan hingga bantuan datang!
Tetap jaga diri kalian!
___A
Alistair Speirs adalah Managing Director Phoenix Communications, sebuah perusahaan komunikasi yang menerbitkan majalah NOW! Jakarta dan NOW! Bali setiap bulan.
Alistair Speirs adalah bagian dari tim PR dan komunikasi setelah Bom Bali pertama (2002), yang bertanggung jawab atas kampanye Bali is My Life dengan Bali Hotels Association, dan telah berkonsultasi untuk Kementerian Pariwisata.
Contact Details:
speirs@phoenix.co.id
www.phoenix.co.id